Jumat, 31 Agustus 2012

Timnas Indonesia Ikut Piala Dunia, Mungkin Hanya Mimpi


Analisis: Daniel Setiawan

Polemik yang terjadi di persepakbolaan Indonesia dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini cukup membuat banyak khalayak pencinta sepakbola nasional geleng-geleng kepala. Mencari jarum di tumpukan jerami saja terlihat masih jauh lebih mudah daripada mengurai permasalahan yang ada di tubuh induk sepak bola Indonesia ini. Permasalahan ini seperti benang kusut, banyak cara yang dilakukan untuk mengurai dan meluruskan masalah ini namun semuanya hanya terlihat berputar-putar di tempat.

Mungkin jika kita bisa lebih bijak, kiprah kita di Piala AFF tahun 2010 lalu bisa jadi salah satu momen yang tepat untuk membangkitkan persepakbolaan Indonesia. Meskipun kita lagi-lagi menjadi runner up, penampilan kita di kompetisi antarnegara Asia Tenggara begitu luar biasa. Bukannya memanfaatkan euforia semaksimal mungkin, kita malah sibuk mengurus dualisme kompetisi yang terjadi. Bahkan hingga sekarang, meskipun dualisme ini sedikit mereda tetap saja ada pihak yang merasa tidak terpuaskan.

Adanya dualisme kompetisi di Indonesia membuka babak baru permasalahan persepakbolaan tanah air. Kompetisi lama versus kompetisi baru, kompetisi (dengan) APBD versus kompetisi (tanpa) APBD. Kehadiran IPL di tanah air memunculkan banyak prokontra, di satu sisi terlihat profesionalitas klub-klub Indonesia yang mengarungi kompetisi tanpa dana APBD, di sisi lain muncul banyak pertanyaan, jadi yang mana liga resmi di Indonesia? Bagaimana sistem dan format kompetisinya?

Seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, dualisme yang terjadi memang mengacaukan atmosfir sepak bola Indonesia. Kedua kubu bersikukuh mempertahankan ego masing-masing. ISL sebagai kompetisi induk yang sudah ada sebelumnya tidak mau merelakan begitu saja posisinya digeser oleh IPL.  Pun IPL, eksistensi kompetisinya ingin diakui oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dua kompetisi bersaing memperebutkan tempat utama dengan landasan induk organisasi yang amburadul. Alhasil FIFA berulang kali melayangkan surat ultimatum untuk PSSI. Beberapa kali digelar kongres akbar yang tujuannya meluruskan permasalahan, meskipun terlihat hanya membuang waktu dan dana saja.

Berkaca dari pengalaman liga yang dijadikan dua, sekarang muncul versi kedua PSSI yang dikenal PSSI edisi La Nyalla. Organisasi ini dibentuk saat KLB pada Maret lalu, yang tujuannya menyaingi dan pastinya menekan kubu PSSI edisi Djohar Arifin.  Dua liga domestik, dua versi organisasi utama, siapa yang anda pilih? 

Banyak Rekor Baru

Kalah telak dari Bahrain 10-0 di babak kualifikasi Piala Dunia, dipermak Malaysia baru-baru ini dengan skor telak 6-0, dan peringkat FIFA kita yang terburuk dalam sejarah yaitu posisi 159. Anda tidak bisa memberikan alasan untuk di argumenkan ketika kalah telak 10-0. Bahrain bukan tim yang baru kita hadapi di ajang internasional, di Piala Asia 2007 kita bahkan sukses membungkam mereka 2-1. Kekalahan menyakitkan melawan Malaysia memang masih bisa dimaklumi. Malaysia membewa skuat gabungan para pemain muda dan senior mereka, sementara kita bermain dengan skuat full pemain muda. Namun faktanya, kekalahan terbesar kita saat menghadapi Malaysia yaitu 3-0. 6-0? Rekor baru PSSI edisi Djohar Arifin.

Ekspektasi warga Indonesia kepada sosok Djohar Arifin saat pertama kali terpilih begitu besar, karena kita tahu di periode sebelumnya, tepatnya saat Nurdin Halid berada di singgasana ketua PSSI masyarakat Indonesia tidak puas oleh kiprah timnas baik di level Asia Tenggara maupun internasional. Saat terpilihnya Djohar Arifin, saya sendiri berfikir bahwa langkah sepak bola Indonesia sudah mulai kembali ke jalan yang tepat. Namun pada kenyataanya selama periode 2011 sampai sekarang performa timnas kita memprihatinkan, bahkan jauh dari kata "lumayan" sekalipun.  Rekor baru banyak tercipta, namun sayangnya rekor negatif yang kita catat.

Permasalahan tidak hanya sebatas timnas saja, klub-klub peserta liga mengalami banyak kendala dana. Bahkan sampai ada pemain yang mengemis demi keberlangsungan hidup. So, perhatian tidak hanya ditujukan kepada timnas dan kompetisi semata, tapi juga ketidakjelasan administrasi klub yang juga merembet ke kehidupan personal para pemain yang berlaga.

Mau tampil di Piala Dunia? Lupakan.

So, sampai kapan? Seperti berputar-putar mencari jalan keluar di labirin, itulah sepak bola Indonesia. Permasalahan di induk sepakbola Indonesia ini merembet kepada hal-hal terkecil. Jika tidak ada ketegasan dan dibiarkan berangsur-angsur seperti ini, niscaya kondisi carut marut ini pasti bertambah pelik. Jangan muluk-muluk berkaca pada kompetisi Eropa sana, kita lihat tetangga kita Malaysia yang struktur liga dan organisasi induk sepakbolanya tertata rapih. Bahkan pembinaan pemain muda di sana sudah selangkah lebih maju dibanding kita. Terbukti saat menjuarai AFF 2010 lalu skuat mereka rata-rata dihuni muka-muka yang sama saat membawa Malaysia merebut emas di Sea Games Vietnam.

Bersikap dewasa, buang jauh-jauh ego, duduk bersama menyelesaikan permasalahan. Sepakbola kita tidaklah buruk, kualitas pemain kita luar biasa, negara kita dipenuhi talenta berbakat. Hanya saja pertanyaanya, sampai kapan PSSI mau bergelut dalam ketidakjelasan ini??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar